Thursday 26 August 2010

Lelah

“TANG… TANG… TANG... CEESSSSS…”, suara tempaan besi yang memekakkan telinga sudah terdengar sedari tadi…

“Terus.Leo! Jangan menyerah” Brahm tanpa lelah menyemangatiku.

“TANG… TANG… TANG…”, tanpa berbicara, aku melanjutkan pekerjaanku.

Sudah 5 jam aku berkutik dengan besi tempaanku ini. Tapi masih saja baju zirah ini belum berbentuk. Mungkin memang aku tak berbakat dalam hal ini. Aku tak dapat bertahan dalam keadaan ini. Aku butuh istirahat.

“ Brahm…!!! Bisakah aku istirahat sebentar. Aku sudah lelah.”. teriakku pada Brahm, sekaligus berharap dengan teriakkanku, rasa lelahku menghilang.

“Jika kau meninggalkannya, maka batuan itu akan membeku dan tak bisa dibentuk lagi. Lagipula, apa yang kau bentuk itu lebih mirip lempengan penutup kuali daripada baju zirah. Ahaha…!!!”, tawa Brahm memang sungguh mengesalkan.

“Sudahlah, aku menyerah dengan menempa. Aku ingin istirahat.”, aku sudah tak kuat lagi melakukan ini. Aku langsung keluar dari ruangan itu dan menuju tempatku biasa beristirahat.

“Dasar Leo. Begitu saja sudah lelah. Apa semua manusia seperti itu?” Aku hanya mendengar samar-samar Brahm berkata seperti itu.

Aku langsung saja merebahkan diri. Lalu aku mendengar suara tempaan yang berasal dari ruang tempa. Sepertinya Brahm menyelesaikan pekerjaanku. Aku yang memang sudah tak berniat lagi memikirkan itu dengan cepat kehilangan kesadaran karena kelelahan. Hingga akhirnya aku tertidur.

.....

“LEO… LEO… CEPAT BANGUN…” Teriak Brahm panik.

“Ada apa, Brahm?”, tanyaku polos sambil mengusap-usap kedua mataku. Kurasakan tanah sedikit bergetar. Apakah ada gempa?.

“Pasukan WereAntz (siluman semut) datang. Kita harus pergi secepatnya.” Ujar brahm.

“Hah? Apa?”, aku yang masih belum sadar sepenuhnya ditarik oleh Brahm untuk meninggalkan ruangan itu.

“Brahm…!!! Aku masih lelah. Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku sambil berlari dgn setengah sadar.

“Sudahlah. Kalau kau banyak bicara, kita akan mati. Nanti akan kujelaskan jika kita masih bisa selamat”, kata-kata Brahm barusan membuat bulu kudukku merinding.

Apa yang sebenarnya terjadi? Sampai-sampai Brahm yang kutahu pemberani sampai ketakutan seperti ini. Apa itu WereAntz? Siluman semut? Memang sebesar apa semut-semut itu? Brahm membawaku ke tempat penempaan dan memberikan perisai dan baju zirah itu untukku.

“Pakai ini. Mungkin saja kita akan terlibat pertempuran disana. Juga ini”, Brahm berlari kearah tempat peralatan dan mengambil pedangku dari balik tempat itu dan melemparkannya padaku,”Maaf aku menyembunyikan pedangmu. Ambil ini.”

Tepat setelah aku memakai baju zirahku, aku menangkap dan mengikatkan pedang itu di pinggang lalu terdiam karena bingung harus melakukan apa. Sementara Brahm memakai baju zirah dan mengambil kapaknya.

“Ayo kita keluar dari sini.” Ujar Brahm.

Brahm menarik tanganku, lalu berlari. Aku mengikutinya sambil terseok-seok mengimbangi laju kaki Brahm yang terlalu cepat untuk makhluk berukuran pendek seperti itu. Aku terjatuh setelah sebuah kaki meja berhasil mengait kakiku. Pedang yang harusnya bersemayam di sarung yang telah kuikat tadi terlempar jauh. Akupun berlari untuk mengambilnya. Saat ku berhasil menggenggam pedangku, Brahm berteriak padaku.

“LEO… AWAS…!!!”

.....

<{Bersambung}>

No comments:

Post a Comment