Wednesday 16 June 2010

Kekuatan Rahasia Para Dwarf 1

"Tak bisakah kita beristirahat sebentar?", sahutku kelelahan.

Barang-barang yang kubawa memang tak sebanyak barang yang dibawa oleh Brahm. Tapi aku sudah merasa sungguh letih membawa semua itu. Memang tubuhku besar karena ku manusia. tapi kekuatan Dwarf itu memang sungguh tak diduga. Brahm bisa mengangkat beban dua kali lipat lebih berat daripada bebanku tanpa kelelahan.

"Sebentar lagi kita akan sampai. Sabarlah... Kau belum melihat keindahan tambang ini.", jawab Brahm semangat.

Entah berapa lama, kami sudah berjalan di bawah gua ini. Gua batu yang hanya diterangi obor di setiap 20 langkah. Aku juga tak tahu siang atau malamkah ini. Tak ada sedikitpun sinar matahari yang masuk kedalam wilayah ini.

Brahm mengatakan bahwa kami akan berjalan ke tempat terindah yang ada di bawah Padang Pasir Ambrose. Tambang emas bagi para penempa. Bijih besi terbaik ada di tambang tersebut. Tapi entah kenapa, aku tak tertarik akan hal itu.

"Leo, kita sudah sampai", kata Brahm.

Akupun akhirnya bisa mengejar Brahm dan melihat tambang itu. Ini adalah tambang tua yang aneh. Gelap. Tetapi terlihat nyala obor di setiap sisinya.

"Akhirnya, sampai juga kita di tempat yang kau banggakan ini. Tapi gelap sekali tempat ini? padahal sudah ada obor yang menerangi?" tanyaku.

"inilah yang kusebut tambang terbaik. Mineral hitam yang ada disini mempunyai kekuatan tingkat tinggi. Yang memungkinkan untuk tidak hancur saat ditebas ataupun dipukul oleh benda apapun." jelas Brahm.

Penjelasan ini sungguh tidak logis. menurutku, sebagus apapun benda yang ada, pasti akan ada elemen yang dapat membuatnya hancur.

"Mineral aneh. Aku tak percaya. Pasti mineral ini ada kelemahannya. Benda ini terlalu sempurna." ujarku.

"Aku sangat yakin akan hal ini. Kalau kau tidak percaya, coba saja kau hancurkan benda ini." tantang Brahm.

Kuambil palu yang berasal dari belakangku. Ku ketok batu itu dengan sekuat tenagaku. TRAAANNKKK...!!!! Bunyinya keras sekali sampai ku terkejut mendengarnya. tapi tak ada sedikitpun serpihan dari batu itu yang jatuh ke tanah.

"Hah? Apabila tak bisa dihancurkan, kenapa kau bisa mengolah batuan ini? di ketok pun tak bisa. Bagaimana caranya?" tanyaku heran.

"Itulah kehebatan kami, para dwarf. Kami bisa mengolah semua bebatuan mineral dengan sihir bumi yang kami punya. Apa kau mau mempelajarinya,Leo?" tanya Brahm padaku.

"Benarkah? Aku masih tak percaya. Coba tunjukkan padaku." Tantangku.

"Hmm... Kau masih meragukanku,rupanya. Bawa saja bebatuan itu sebanyak yang kau bisa. Lalu kita secepatnya kembali ke rumah untuk membuktikannya." ujar Brahm.

"OK... Akan kulihat apa yang bisa kau ajarkan padaku." balasku.

<{Bersambung}>

Tuesday 15 June 2010

Dwarf, Ras Kecil dengan Kekuatan Besar

"Namaku..." belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku, dwarf itu memotongnya lagi.

"Atau ku panggil kau Leo? Mulai sekarang kau kupanggil Leo." ujarnya.

"Leo??? Tapi,kan..."

"Leo... Namaku Abraham Soulaxe. Panggil saja aku Brahm." walaupun agak kurang sopan, akhirnya dia memperkenalkan dirinya juga.

Hmm... Leo boleh juga nama itu. Toh aku sendiri tak harus repot memikirkan namaku, ataupun berbohong kepadanya. Tapi sikapnya yang kasar dan tidak sabaran itu membuatku resah. Sepertinya dia hanya mempunyai waktu yang sedikit lagi untuk hidup, sehingga apa yang dilakukannya harus cepat selesai.

"Ini minumlah dan tunggu sebentar. Sepertinya aku masih mempunyai sisa makanan" katanya seraya melemparkan sebuah tempat air yang terbuat dari kulit.

Aku meminum zat cair tersebut. Rasanya bukan seperti air biasa. Cairan ini seperti memulihkan kekuatanku. Walaupun seperti itu, aku tetap tak berani untuk memberontak dan kabur dari Brahm.

"Ada sedikit lagi daging serigala gurun. Untukmu saja. Kau pasti lapar,kan setelah kau kelelahan dan pingsan seperti tadi."

Kuambil daging itu dan menyantapnya. Dia sepertinya tak seperti yang ku pikirkan. Jika dia memang jahat kepadaku, kenapa dia mau memberikanku makanan ini?

"Maafkan aku atas perlakuanku tadi. Aku memang cepat sekali emosi. Apalagi kepada makhluk-makhluk yang suka merendahkan rasku, ras dwarf." permintaan maafnya terlihat tulus.

"Aku juga minta maaf karena kaget melihatmu. Jujur, ini pertama kalinya aku melihat ada ras lain selain ras manusia. Dan maafkan aku jika aku seperti memandangmu rendah. Karena memang dirimu itu..." dengan hati-hati kuberbicara agar tak membuatnya emosi lagi, "...terlihat lebih kecil."

"Itu memang ciri ras kami. Badan kami memang kecil, tetapi masih belum ada yang tahu, sampai mana batas maksimum kekuatan ras kami. Bisa dibilang, kami adalah ras yang terkuat." penjelasan dari Brahm membuatku bertanya-tanya.

"Kuat? Tetapi, kenapa kalian tidak pernah terlihat di kota? Bukankah ras kalian cocok untuk dijadikan seorang Penjaga?" Aku memang hanya mendengarkan suasana kota dari Amber. Tapi Amber tak pernah menceritakan tentang Dwarf.

"Emosi ras kami sangatlah labil. Dan ras kalian selalu saja menganggap rendah kami. Jadi kami mau tak mau langsung menghabisi mereka. Sejak ras manusia menduduki tahta kerajaan, ras kami diusir dan dikucilkan karena kami dianggap mengganggu. Setelah itu, ras kami memberontak dan menghancurkan hampir setengah dari kerajaan. Sayangnya kami hanya menyerang dengan emosi kami, sehingga dengan adanya kerjasama antara pihak kerajaan dengan makhluk lainnya, kami dikalahkan dan diasingkan ke bawah tanah. Setelah saat itu, kami hanya dapat hidup mengurung diri di bawah tanah, dan sesekali ke permukaan untuk berburu makanan." Kenang Brahm.

"Wah, kau sepertinya mengetahui banyak hal tentang dunia ini. Sebenarnya ku tak tahu siapa diriku. Aku ditemukan oleh seorang nenek terdampar di padang pasir sama seperti kejadian kau menemukanku. Aku kehilangan ingatanku. Mungkin dengan adanya aku disini, aku bisa belajar banyak hal dari dirimu." senyum lebar terpasang pada mukaku.

"Aku memang belum sepenuhnya percaya pada ras kalian. Tapi aku mengijinkanmu ada disini dengan suatu syarat. Kau sanggup?" tantangnya.

"Syarat? apa itu?" rasa penasaran mulai menjalar di benakku.

"Aku takkan mengatakannya sebelum kau mengatakan iya."

"Baiklah, aku harap syarat darimu tak sulit untukku kerjakan." kataku dengan hati yang berdebar.

"Mulai sekarang, kau harus menjadi asistenku. Menemaniku untuk melakukan apa saja. Melakukan semua yang kuperintahkan. Dan kau sudah menyanggupinya."

"Hah?!? Ba...Baiklah..." jawabku. Mau tak mau aku harus menurutinya. Karena aku sudah menyanggupinya.

"Istirahatlah dulu. Aku akan memikirkan apa saja yang bisa aku lakukan kepadamu." katanya sembari pergi dan tertawa kecil. Perasaanku mulai tidak enak.

...
<{Bersambung}>

Saturday 12 June 2010

Untitled

Tolong inginku...
Inikah yang terbayang dalam benakku...
Ada perasaan yang menjalar dari hatiku...
Rasa aneh yang tak biasa pada diriku...
Aku merasa aneh pada diriku...

Inginku adalah dekat denganmu...
Niatku mungkin bersamamu...
Dalam hatiku seperti hanya dirimu...
Raut wajahmu memenuhi otakku...
Isi kepalaku hanya ada kamu...

Apakah ini cinta???
Nada-nada indah tak sengaja terlantun dalam benakku
Inti permasalahan ini mungkin memang cinta...

Perangaimu baik wahai bidadari...
Riang sikapmu terangan dalam mimpiku...
Ada segores suara indahmu di penantianku...
Tawa senyummu seindah pemandangan senja...

Ilusi wajahmu membuatku ingin berkata...
Would you be mine???
I want to be with you...

Friday 11 June 2010

Bisakah Inginku???

Bisakah aku jatuh cinta???
Disaat tak ada lagi bunga yang bermekaran...
Tak lagi harum semerbak bunga yang berterbangan...
Dan hilang kilau cahaya pada mahkota bunga...

Bisa...
Ku masih bisa jatuh cinta...
Tapi...
Bisakah aku menerima cinta???

Awal hati menginginkan peri kecil...
Terbang bebas menemaniku di hampa asaku...
Ternyata kupu-kupu...
Hanya lewat sekejap menghisap sari madu dari bunga hatiku...

Aku ingin merasakan cinta...
Ditemani malaikat dalam asa...
Terbang ke khayal...
Dimana mimpi melayangkan angan...

Sayangnya...
Pintu hatiku tak sanggup ku buka kembali...
Seperti gerbang istana dimana berkobarnya api peperangan...
Peperangan angan dalam hatiku...

Di Bawah Padang Pasir Ambrose

"Hei... Dimana aku?", tanyaku saat ku membuka mataku.

Ruangan yang gelap beratapkan tanpa hiasan. Lilin pun tak terlihat menerangi tempat ini. Hanya seberkas cahaya dari sebuah lubang yang tak kuketahui darimana asalnya yang masuk ke dalam ruangan ini. Ruangan ini seperti gua yang tidak berpenghuni. Tiba-tiba terdengar suara aneh yang merambat di balik dinding tersebut.

"Apa itu?", aku menatap dinding itu.

Dinding itupun bergetar lalu bergeser. Dari balik geseran itu muncullah suatu makhluk yang bentuknya menyerupai dwarf. Badan yang pendek, hidung yang panjang, badan yang penuh kerutan, dan sebuah tindikan yang berada pada hidungnya.

Kengerian menghampiri otakku. Kucari pedang yang kubawa, tetapi aku tak menemukan dimana keberadaan pedangku.

"Apa yang kau cari, manusia? Kau mencari pedangmu? Sudah kubuang pedangmu jauh-jauh karena kau pasti akan membunuhku jika kau melihatku." ujar dwarf itu.

"Aku... Aku... Aku tak bermaksud untuk..." cobaku untuk membela diri.

"Sudah! Tak usah beralasan! Setiap manusia yang melihatku pasti bersikap seperti itu. Aku memang makhluk yang buruk rupa. Tidak seperti manusia... SEMPURNA... Dan tidak seperti elf... Cantik dan rupawan..." selanya. Sepertinya dia sangat emosi dengan apa yang barusan kulakukan padanya.

"Padahal akulah yang menolong kalian. Para makhluk sombong yang tak mau disamakan olehku. Aku memang cuma seorang dwarf tua yang hidup dibawah gurun pasir Ambrose. Tapi tak berhakkah aku mendapatkan perlakuan seperti kalian?" lanjutnya.

Aku masih terdiam karena takut sesuatu akan terjadi padaku jika aku menyela dwarf ini. Mungkin saja kepalaku langsung dipenggal olehnya, atau mungkin mataku langsung ditusuk oleh jari-jarinya yang berkerut itu. Tapi apabila aku terus diam, sampai kapan aku harus mendengarkan keluhan yang tidak aku mengerti ini.

"Siapa namamu?" tanya dwarf itu menyadarkanku dari lamunanku. "Hah?"

"Siapa namamu wahai manusia sombong? Apa kau tidak mendengarkan apa yang aku katakan tadi,hah?!?" lanjut dwarf itu.

Namaku? Siapa namaku? Amber hanya mengatakan bahwa di pedang itu terukir tulisan Earth di gagangnya. Aku masih tak tahu namaku. Haruskah ku mengatakan bahwa namaku Earth, atau aku berbohong dengan mengatakan nama orang lain? Tapi jika aku harus jujur mengatakan bahwa aku tak ingat siapa namaku, apa yang akan dia lakukan?

"Hei... Apakah kau tuli,hah?" bentak Dwarf itu lagi.

"Aku..."

<{Bersambung}>