Friday, 11 June 2010

Di Bawah Padang Pasir Ambrose

"Hei... Dimana aku?", tanyaku saat ku membuka mataku.

Ruangan yang gelap beratapkan tanpa hiasan. Lilin pun tak terlihat menerangi tempat ini. Hanya seberkas cahaya dari sebuah lubang yang tak kuketahui darimana asalnya yang masuk ke dalam ruangan ini. Ruangan ini seperti gua yang tidak berpenghuni. Tiba-tiba terdengar suara aneh yang merambat di balik dinding tersebut.

"Apa itu?", aku menatap dinding itu.

Dinding itupun bergetar lalu bergeser. Dari balik geseran itu muncullah suatu makhluk yang bentuknya menyerupai dwarf. Badan yang pendek, hidung yang panjang, badan yang penuh kerutan, dan sebuah tindikan yang berada pada hidungnya.

Kengerian menghampiri otakku. Kucari pedang yang kubawa, tetapi aku tak menemukan dimana keberadaan pedangku.

"Apa yang kau cari, manusia? Kau mencari pedangmu? Sudah kubuang pedangmu jauh-jauh karena kau pasti akan membunuhku jika kau melihatku." ujar dwarf itu.

"Aku... Aku... Aku tak bermaksud untuk..." cobaku untuk membela diri.

"Sudah! Tak usah beralasan! Setiap manusia yang melihatku pasti bersikap seperti itu. Aku memang makhluk yang buruk rupa. Tidak seperti manusia... SEMPURNA... Dan tidak seperti elf... Cantik dan rupawan..." selanya. Sepertinya dia sangat emosi dengan apa yang barusan kulakukan padanya.

"Padahal akulah yang menolong kalian. Para makhluk sombong yang tak mau disamakan olehku. Aku memang cuma seorang dwarf tua yang hidup dibawah gurun pasir Ambrose. Tapi tak berhakkah aku mendapatkan perlakuan seperti kalian?" lanjutnya.

Aku masih terdiam karena takut sesuatu akan terjadi padaku jika aku menyela dwarf ini. Mungkin saja kepalaku langsung dipenggal olehnya, atau mungkin mataku langsung ditusuk oleh jari-jarinya yang berkerut itu. Tapi apabila aku terus diam, sampai kapan aku harus mendengarkan keluhan yang tidak aku mengerti ini.

"Siapa namamu?" tanya dwarf itu menyadarkanku dari lamunanku. "Hah?"

"Siapa namamu wahai manusia sombong? Apa kau tidak mendengarkan apa yang aku katakan tadi,hah?!?" lanjut dwarf itu.

Namaku? Siapa namaku? Amber hanya mengatakan bahwa di pedang itu terukir tulisan Earth di gagangnya. Aku masih tak tahu namaku. Haruskah ku mengatakan bahwa namaku Earth, atau aku berbohong dengan mengatakan nama orang lain? Tapi jika aku harus jujur mengatakan bahwa aku tak ingat siapa namaku, apa yang akan dia lakukan?

"Hei... Apakah kau tuli,hah?" bentak Dwarf itu lagi.

"Aku..."

<{Bersambung}>

No comments:

Post a Comment